Bros Cantik untuk Alifia



Cerpen – Selamat malam sahabat catatan mbak nur..... bagaimana kabarnya? Semoga selalu dalam keadaan sehat selalu yah ^_^ . Mimin baru bisa posting karena ada kesibukan, cielah kesibukan hehe langsung saja kita nge-cerpen yuuuuk

*** Bros Cantik untuk Alifia ****
Oleh : Eka Nur Rahayu



Namanya Alifia, teman sekelasku di SMA Pelita Harapan. Teman-temanku biasanya menyebutnya cewek sok misterius. Aku sudah sering menasihati mereka agar tidak sembarangan memberikan penilaian pada seseorang. Lagi pula kalau pun dia berperilaku seperti itu, pasti ada sebabnya. Namun aku bisa apa jika mereka tetap mengulangi sikap mereka di kemudian hari?


Sudah lama aku ingin berteman dengannya, tapi aku bingung bagaimana cara memulai. Jadi kami hanya sering bertukar senyum dan saling mengangguk sewaktu berpapasan.

Sudah seminggu bangku Alifia kosong. Saat kutanyakan pada teman sebangkunya, gadis tersebut cuma menggeleng, isyarat dia pun tidak tahu-menahu.

Bel penanda waktu pulang telah berbunyi, secepat kilat siswa dan siswi berjejalan keluar kelas. Sedangkan aku memilih keluar paling akhir, agar tidak perlu berdesakan di pintu keluar.

"Lila, tolong kamu antar buku PR ini ke rumah Alifia!" Aku dikejutkan oleh suara tegas Bu Widya, Guru Bahasa indonesia yang baru saja selesai mengajar. Nyaris saja perlengkapan menulis yang akan aku masukkan ke dalam tas berhamburan.

"Tapi rumah saya jauh, Bu. Beda komplek."

"Kamu kan punya kendaraan."

"Hanya sepeda, Bu." Aku meringis, dan menatapnya memohon.

"Kendaraan. Menurut KBBI bermakna sesuatu yang digunakan untuk dikendarai atau dinaiki. Contohnya, kuda, kereta, dan..."

"Eh... Iya, Bu. Sini saya bawakan."

Bu guru Bahasa Indonesia di sekolah kami ini memang tidak suka dibantah, jadi mau tidak mau aku harus mengiyakan.

***

Awalnya aku mengayuh sepeda dengan penuh semangat, agar cepat sampai, pikirku. Namun, dalam perjalanan beberapa waktu kemudian aku manjadi kekalahan. Untung saja aku sudah berhenti di sebuah rumah mungil di ujung gang sempit. Sebuah rumah sederhana yang tampak tidak terawat.

Aku segera turun dari sepeda dan menghampiri rumah tersebut. Belum sempat aku menyentuh gagang pintu untuk mengetuk, sesosok gadis seusiaku muncul dari dalam pintu yang mendadak terbuka. Tangan kanannya menggengam gagang pintu, sedangkan tangan kiri menentang seember cucian basah.

Mata kami bertemu untuk sesaat, mulutnya sedikit terbuka. Sedetik kemudian dia langsung menunduk. Meletakkan ember sembarangan dan berlari masuk.

"Alifia! Alifia!" Aku memanggil, tapi tidak juga mendengar jawaban atau melihat dia datang. Aku bingung, dan terduduk lemas di kursi dekat pintu, tanpa peduli aku dipersilakan atau tidak.

Aku meletakkan buku-buku di atas meja. Tanganku sedah pegal menenteng beberapa buku titipan Bu Widya.

Aku mendengar suara batuk seorang wanita, aku menduga itu ibunya. Wanita itu kemudian bertanya, "Siapa, Nduk?"

Aku tidak mendengar suara apapun. Alifia seakan tidak bisa berkata-kata.

"Assalamualaikum, Bu. Mohon maaf kalau saya mengganggu. Saya di sini karena diminta Ibu Guru mengantar Buku PR Alifia."

"Oohhh... Iya, Nak. Terima kasih. Letakkan saja di meja ruang tamu. Maaf Ibu sedang sakit, tidak bisa menemui kamu. Sementara Alifia mungkin sedang di rumah tetangga sebelah, mengambil cucian."

"Oohh... Baiklah, Bu. Saya pulang dulu."

***

Seminggu kemudian aku kembali mendapatkan tugas ke rumah Alifia. Namun, kali ini bukanlah dari Bu Widya, melainkan dari Bu Wali Kelas. Sebuah amplop berisi surat kepada orang tua Alifia, bukan lagi setumpuk buku PR miliknya. Entah apa isinya.

Tidak lama setelah pintu diketuk, sesosok wanita muncul membuka pintu. Beliau duduk di atas kursi roda, tersenyum ramah, dan mempersilakan aku masuk.

Kami pun berbincang. Kini semuanya jelas sudah. Alifia sudah dua minggu tidak masuk sekolah karena ibunya sakit. Dia harus merawat sang Ibu yang hanya bisa mengandalkan dirinya, anak satu-satunya. Sebab sang suami sudah lama meninggalkan dunia.

Di samping mengurus ibunya, dia juga menggantikan pekerjaan beliau sebagai buruh cuci di beberapa rumah tangga di detak komplek tersebut. Aku merasa iba, tapi juga sekaligus kagum pada Alifia. Di usianya yang masih muda dirinya harus menanggung beban yang berat, tapi dia tidak putus asa atau pun lari.



"Ibu, nggak perlu cerita sama dia. Dia nggak akan mengerti. Semua orang kaya tuh sama aja. Bisanya cuma menghina, dan menghamburkan uang orang tuanya." Gadis yang sedang kami bicarakan mendadak datang dari pintu depan, membawa sekeranjang pakaian kotor dari tetangga.

"Fia, nggak baik berbicara seperti itu kepada teman kamu."

Alifia tidak berani membantah ibunya, sebagai pelampiasan dia memandangku penuh kecurigaan. Aku pun pamit pulang pada ibunya. Tentu saja ibunya tidak lantas setuju, tapi aku beralasan sore nanti akan diajak jalan-jalan kakak yang baru pulang dari Yogyakarta. Dia berkuliah di sana, jadi kami jarang punya waktu bersama lagi seperti dulu. Beliau pun melepas kepergianku.

Sebenarnya aku tidak sepenuhnya berbohong, Kakak memang pulang dari Yogyakarta. Tapi setelah tiba di rumah, kami tidak jalan-jalan. Hanya duduk bersama sambil menyaksikan televisi. Eh, ralat Kak Aldi yang menonton, sementara pikiranku lari entah ke mana-mana.

"Dek, acaranya lucu ya?" tanya Kak Aldi tiba-tiba. Aku tergagap. Dia kemudian mentapku penuh selidik. "Kamu kenapa sih?"

Aku pun akhirnya menceritakan semua tentang kedatanganku ke rumah Alifia. Kemudian kami sama-sama terdiam lama. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kak Aldi menggonta-ganti channel televisi tanpa arah dan tujuan yang jelas.

"Seorang ibu rumah tangga berhasil meraup untung besar dengan menjual berbagai aksesori dari bahan daur-ulang," suara pembawa acara berita membahana di seluruh penjuru ruang keluarga. Setelah berita tersebut usai, dan berganti berita lainnya, aku dan Kakak seketika saling pandang.

Kak Aldi langsung mematikan televisi dan berlari ke kamarnya. Dia kembali bersama laptop kesayangannya, meletakkan di atas meja, dan mengajakku mencari video tutorial membuat bros dan aksesori.

"Nanti kita bisa ganti kain flanelnya dengan bekas bungkus kopi sachet. Pak Nasir kan pemilik kedai kopi, dia pasti punya banyak," kata Kak Aldi. Tetangga sebelah rumah kami adalah sosok yang dia maksud. Aku pun mengangguk setuju.



Lantas kami menyusun rencana untuk besok, yang kebetulan adalah hari minggu. Hari libur sekolahku.

"Dan, Mbak Mita kan punya usaha sampingan jadi dropshipper. Kita minta tolong diajarin jualan via Instagram sama dia."

Begitulah kakakku, kalau sudah dapat ide bagus, semangatnya langsung menggebu. Aku tersenyum bahagia, penuh harapan, akan hari esok yang lebih baik untuk Alifia.

***

Kali ini aku sudah berdiri di depan rumah Alifia lagi. Namun tidak membawa setumpuk buku titipan Bu Widya, tidak juga sebuah amplop titipan Bu Wali Kelas. Aku juga tidak langsung mengetuk pintu. Melainkan, sedang menunggu situasi yang tepat.

Aku lihat Alifia keluar dari rumah, tidak lama setelah aku menggungu. Secepatnya aku berlari dan mengetuk pintu. Tidak lama setelah ibunya membuka pintu aku menyerahkan uang yang telah aku kumpulan dari hasil berjualan bros selama sebulan ini.

Aku juga bilang, akan membantu melunasi uang sekolah hingga Alifia lulus. Kebetulan pemilik yayasan adalah saudara sepupu Ayahku, jadi aku membujuknya untuk merahasiakan identitas penyumbang.

Awalnya ibunya Alifia menolak. Namun, aku memohon dan memaksa. Bahkan hingga bersimpuh di hadapannya. Aku tidak mau Alifia putus sekolah. Aku juga memintanya agar beliau merahasiakan tentang pemberian ini padanya.

"Maafkan Alifia ya, Nak. Dia trauma karena di SMP dia sering diejek. Sehingga dia memilih tertutup tentang kehidupan pribadinya, dan selalu menganggap semua orang kaya itu jahat."



Aku tersenyum simpul, "Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa memahaminya."

"Tapi kenapa kamu bersikukuh sekali supaya Alifia tetap bersekolah?"

"Karena saya tidak ingin Alifia mengalami apa yang ibu saya alami. Ibu saya yang selalu diremehkan bahkan dihina oleh keluarga dan rekan Ayah hanya karena pendidikannya yang tidak setara. Mereka tidak perduli walau Ayah mencintainya, dan Ibu saya tidak pernah menyerah untuk terus menambah wawasan dengan membaca buku dan berdiskusi dengan Ayah. Alifia harus berpendidikan tinggi, agar tidak ada lagi yang bisa menghinanya."

Aku pun segera berpamitan, takut Alifia keburu pulang. Namun, terlambat. Aku nyaris menubruk dia di depan pintu. Tubuh ini nyaris membeku untuk beberapa menit.

"Maaf, aku hanya... Emmm... Mau kasih ini sebagai kado persahabatan." Untung aku langsung berpikir cepat. Kuambil sebuah bros cantik dari dalam tas, kemudian kubuka plastik pembungkusnya, dan menyerahkan ke genggaman tangannya dengan sedikit memaksa.

"Tidak perlu sungkan. Aku membagikannya pada seluruh murid di kelas. Dalam rangka promosi bisnis baruku bersama Kakak." Aku terus mengoceh tanpa henti. Walaupun dia tetap terpaku dan menatapku bingung.

Hingga sebuah dering ponsel mengalihkan perhatian kami semua di ruangan itu. Duh, Evelyn. Dia pasti akan mengomel panjang kali lebar, karena aku belum juga mengirimkan bros pesanannya sesuai janji, sepulang sekolah. Aku menolak panggilan dan segera berpamitan kepada sepasang ibu dan anak tersebut.

(Selesai)


Share:

0 comments:

Post a Comment